Kamis, 01 April 2010

Budaya Korupsi dan Tatanegara

Budaya Korupsi dan Tatanegara

Oleh: Benni E. Matindas


Korupsi terus berkembang subur. Setelah menjadi bagian dari budaya, korupsi segera jadi nilai dasar budaya, sehingga korupsi menjadi tujuan dan kewajiban bagi setiap orang. Pelaporan dan pembongkaran korupsi hanya dilakukan oleh pihak-pihak yang iri karena belum mendapat kesempatan melakukan korupsi besar, selebihnya karena terpaksa harus bertindak daripada dicopot atau diungkap sebagai sesama koruptor atau membantu koruptor. Mengapa korupsi bisa jadi budaya?Jawabannya sederhana dan jelas, sesuai hukum-alam kriminalitas: lantaran berlangsung pembiaran di tengah ketidakpastian hukum. Ketidakpastian hukum selalu menyuburkan sekaligus: kriminalitas dan kepastian hukum bagi pemegang kuasa ataupun uang. Lalu mengapa ketidakpastian hukum bisa terjadi di zaman modern? Jawabannya tak bisa lain: lantaran tatanegara yang tak becus mengoptimalkan fungsi parlemen. Mengapa parlemen tak berfungsi? Mengapa tatanegara yang keliru masih terus dianut?
Mengapa semua dan segala upaya pemberantasan korupsi di negara ini pasti gagal dan sering harus berakhir dengan terungkapnya skandal
korupsi para petinggi lembaga pemberantas korupsi
maupun lembaga penegak hukum itu sendiri?


S
esudah berjuang berbulan-bulan siang dan malam untuk membongkar kasus dugaan skandal mega-korupsi di Bank Century, hasil kerja Pansus DPR pun diterima melalui Sidang Paripurna DPR awal Maret 2010. Seluruh warga Indonesia yang bersikap kritis dan bertanggung jawab pun menyambut lega dan senang. Lega karena berlalunya kekhawatiran selama ini bahwa partai-partai koalisi yang memerintah akan dengan mudah menjegal dengan suara mayoritasnya. Senang karena harapan yang sudah nyaris lenyap — lantaran selama puluhan tahun kekuasaan (kekuasaan politik dan uang) selalu dapat dengan mudah menekuk suara-suara kritis — ternyata melalui sikap nekat sejumlah anggota DPR dapat menunjukkan bahwa dewan rakyat itu masih dapat diharap oleh rakyat yang kritis.
Tetapi! Hasil Sidang Paripurna dari Dewan yang seharusnya Pemegang Kedaulatan Tertinggi dalam Negara Demokrasi itu, besoknya, langsung dimentahkan Presiden. Dalam pidato yang khusus untuk menanggapi hasil paripurna DPR itu, Presiden mengingatkan aturan yang memang berlaku: produk DPR itu tidak bisa menjadi bukti hukum!
Pernyataan Presiden tersebut memberi arti jelas: bahwa Presiden yakin seluruh hasil penyelidikan yang dimotori para ahli hukum dalam DPR mengenai kasus hukum itu bisa dinihilkan oleh hasil penyelidikan penegak hukum.
Dan arti lanjut dari keyakinan Presiden itu hanya memiliki 2 kemungkinan: Satu, Presiden sangat yakin bahwa para ahli hukum di DPR (yang pendapat mereka pun didukung sejumlah pakar hukum di luar DPR) pasti lebih bodoh dan tak becus dibanding polisi dan jaksa dalam hal menyelidiki serta menganalisis fakta-fakta dan pelbagai indikator yang ditemukan. Dua, Presiden sangat yakin bahwa kepolisian dan kejaksaan yang merupakan bawahannya itu akan seperti biasanya berani melakonkan peran yang kendati tak populer atau bahkan tak perduli dengan perasaan keadilan masyarakat; seperti kinerja Polisi yang mendahulukan proses untuk menjadikan Susno Duadji sebagai tersangka kasus pencemaran nama baik karena ‘menyanyikan’ nama-nama petinggi Polri yang jadi makelar kasus, dan bukan sebaliknya mendahulukan pemeriksaan atas nama-nama yang disebut itu; atau kinerja jaksa serta hakim memproses penuntutan dan peradilan Gayus Tambunan yang dengan gampangnya dibawa pada pembebasan kendati terlalu janggal.
Yang manakah dari dua kemungkinan itu yang ada dalam benak Presiden SBY? Yang ke-satu pasti bukan, karena kita sama tahu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bukan seorang yang bodoh sampai menilai para ahli hukum dalam DPR kita terlalu bodoh menganalisis kasus hukum sehingga hasilnya akan semuanya dimentahkan dan dinihilkan polisi dan jaksa. Yang ke-dua juga tak dengan sendirinya tepat (tak dengan sendirinya tepat setelah yang ke-satu kita nyatakan salah). Yang ke-dua sangat mungkin bukan, karena Presiden pasti tidak serendah dan senaif itu mengharapkan kinerja kotor aparat hukum yang dibawahinya, dan karena Presiden yakin bahwa kebenaran ada di pihaknya (= Presiden yakin Wapres dan Menkeunya tidak salah).
Lalu, kalau artinya bukan yang satu maupun dua itu, apakah arti yang tersisa dari pernyataan Presiden bahwa produk DPR tidak memiliki nilai yuridis? Pernyataan Presiden itu adalah sebuah fenomena penting, dan noumena di dalamnya tak lain adalah kebuntuan tatanegara yang keliru.
Tatanegara yang menetapkan bahwa “produk DPR tidak memiliki keabsahan dan kekuatan di arena yurisdiksi” itu adalah tatanegara yang kebenarannya sudah terjungkir balik.

T
atanegara yang kita anut selama ini salah, atau lebih tepatnya “salah kaprah” karena kenyataannya sudah dibakukan dan dikonstitusikan sedemikian lama. Tatanegara atau sistem mekanisme penyelenggaraan badan-badan kekuasaan negara salah maka muncullah bermacam akibat. Penegakan hukum tak pernah bisa diharap optimal, sehingga korupsi tak akan pernah bisa diberantas tuntas dan malah sebaliknya semakin subur membudaya. Setelah menjadi bagian dari budaya, korupsi segera jadi nilai dasar budaya, sehingga korupsi menjadi tujuan dan kewajiban bagi setiap orang. Pelaporan dan pembongkaran korupsi hanya dilakukan oleh pihak-pihak yang iri karena belum mendapat kesempatan melakukan korupsi besar, selebihnya karena terpaksa harus bertindak daripada dicopot atau diungkap sebagai sesama koruptor atau membantu koruptor.
Tatanegara kita, dan banyak negara di dunia ini, terlanjur menerapkan Trias Politika ala Montesquieu. Kekuasaan Yudikatif diposisikan setara-setinggi dan terpisah dari kekuasaan Dewan Representasi Rakyat, padahal sebenarnya Dewan Representasi Rakyat harus tertinggi-sendiri dalam Negara Demokrasi (Negara Kedaulatan Rakyat).1
Akibat dari teori Trias Politika ala Montesquieu ini — khusus berkenaan dengan Yudikatif saja — ada sekaligus beberapa pokok, antara lain:
Pemisahan itu mengakibatkan hilangnya kekuasaan pengawas atas kekuasaan. Ini hal yang parah. Karena bahkan Montesquieu sendiri, dalam buku yang sama yang menganjurkan Trias Politika, menegaskan: kekuasaan hanya bisa diawasi oleh kekuasaan.2 [Tapi Montesquieu memang hanya sibuk memelototi kekuasaan eksekutif/raja, tidak yang lain.]
Penyetaraan itu mengakibatkan hilangnya atau kaburnya hakikat fungsi dari kekuasaan peradilan. Dengan disetarakannya DPR dan MA maka fungsi penegakan hukum yang sebenarnya merupakan bagian dari wujud fungsi pengawasan menjadi kabur. MA dan semua aparat penegak hukum sampai kepolisian pada praktiknya tetap merupakan pelaksana fungsi pengawasan, semua yang dijalaninya adalah wujud pengawasan untuk tegaknya aturan yang ditelorkan Legislatif; tetapi lembaga-lembaga penegak hukum itu tidak lagi merasa sebagai implementator Fungsi Pengawasan yang merupakan salahsatu fungsi pokok Dewan Pemegang Kedaulatan Rakyat. Masalah fungsi dalam Trias Politika sebetulnya sudah dikritik dengan sangat tandas oleh Hauriou, pakar hukum dari negara yang sama dengan Montesquieu, Prancis.3
Pemisahan dan penyetaraan itu mengakibatkan lembaga peradilan menjadi otonom atau independent (yang lantas dirancukan dengan asas independensi keputusan hakim dalam pengadilan) dan sekaligus kehilangan pijakan atau sumber kekuasaannya yang kendati tertinggi (yakni Parlemen atau Dewan Kedaulatan Rakyat). Dalam posisi otonomi alias wilayah tak bertuan itulah, dan ditambah hilangnya sumber kekuasaan yang sebesar Parlemen, maka peradilan menjadi begitu gampangnya setiap saat diintervensi penguasa. Apa yang dikira kekuasaan independent justru menjadi lahan yang setiap saat dimasuki oleh penguasa pemerintahan, penguasa politik massa, penguasa kekuatan fisik (militer, gangster, para penjahat), ataupun penguasa uang banyak. Sehingga mengakibatkan hilangnya kepastian hukum.
Dengan pemisahan 3 cabang kekuasaan — Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif — maka Yudikatif atau kekuasaan peradilan tidak diawasi oleh siapapun. Eksekutif diawasi oleh institusi parlemen sebagai pelaksana kekuasaan tertinggi dari rakyat, dan diawasi pula langsung oleh rakyat yang diwujudkan melalui institusi pemilihan umum; begitu pula Legislatif diawasi oleh rival politik sesama anggota dan institusi parlemen dan diawasi pula rakyat konstituen yang diwujudkan melalui institusi pemilihan umum (dan masih ditambah lagi dengan diawasi oleh sesama kamar parlemen dalam sistem parlemen yang menganut sistem bikameral); tapi Yudikatif tidak diawasi oleh institusi manapun yang hak. [Hakim-hakim MA diangkat oleh Presiden dan DPR, tapiu MA tidak bertanggung jawab pada DPR dan tidak hak serta tidak logis untuk bertanggung jawab pada Presiden. Seperti juga tidak hak dan tidak logisnya MA dan hakim-hakimnya bertanggung jawab kepada Komisi Yudisial. Di Indonesia ada lembaga aneh di atas DPR, yakni MPR, yang semestinya cukup hak untuk menjadi arah pertanggungjawaban MA walau itu tak logis karena lembaga itu hanya eksis saat bersidang yang hanya diadakan sekian waktu sekali; tetapi itupun ternyata sulit. Ketua MA Bagir Manan dalam Sidang MPR tak mau mempertanggungjawabkan keputusan kontroversialnya mengabulkan keinginan Tommy Soeharto dalam kasus pembunuhan seorang hakim. Alasan Ketua MA: jangan melanggar asas independensi kekuasaan peradilan.]
Woodrow Wilson, negarawan dan ilmuwan politik Amerika, dalam bukunya Negara, menggunakan istilah “isolasi” untuk sifat otonomi dari badan kekuasaan yang dipisahkan namun sumber fungsinya dihilangkan. Dan karena tak ada pertanggungjawaban dalam kondisi isolasi, maka tak ada tanggung jawab. Sedang mengenai kekacauan sistem mekanisme kerja lembaga-lembaga kekuasaan negara yang terjadi akibat kekeliruan dalam hal pemisahan kekuasaan tanpa kejelasan fungsi yang benar, Wilson pun menggunakan istilah “disharmoni”. Semua lembaga penyelenggara kekuasaan negara sebenarnya harus dalam kesatuan harmonis.4

B
agaimana teori Trias Politika yang ngawur dan berbahaya itu bisa muncul dan sampai diterima sedemikian meluas seluruh dunia?
Bermula ketika Charles Louis de Secondat Baron de la Brede et de Montesquieu (1689-1755) kembali ke tanah airnya, Prancis, usai jalan-jalan ke Inggris. Di Inggris ia membaca buku John Locke (1632-1704) tentang pembagian 3 kekuasaan tertinggi: legislatif, eksekutif dan federatif. Ia pun amat terkesan dengan tata demokrasi Inggris yang memosisikan parlemen sebagai pengawas serta pengimbang kekuasaan raja. Ia lantas menulis buku yang segera dan hingga selamanya menjadi acuan tatanegara yang terkenal sebagai trias politika — istilah yang pertama kali digunakan oleh filsuf Immanuel Kant (1724-1804).
Montesquieu bicara tentang 3 cabang kekuasaan — legislatif, eksekutif dan yudikatif — yang harus dipisah secara mutlak. Sudah lain dari yang dilihatnya di Inggris maupun yang dibacanya dalam risalah Locke. Fungsi yudikatif ia angkat ke tataran badan-badan kekuasaan tertinggi, dipengaruhi antara lain oleh latar belakang pribadinya yang adalah seorang hakim. Pemisahan kekuasaan secara mutlak, dan dengan menambah sampai menjadi 2 kekuasaan tertinggi di luar kekuasaan eksekutif, itu karena bencinya pada kesewenang-wenangan Raja Louis XIV, tiran yang menggenggam kekuasaan absolut.
Tapi gagasan Montesquieu ini justru langsung disambut sebagai kebenaran, tak perduli bahwa ia tak benar melukiskan tentang tatanegara Inggris. Bahkan Sir Ivor Jennings — pakar tatanegara Inggris, perancang konstitusi sejumlah negara commonwealth — yang mengoreksi Montesquieu bukan sekadar dalam hal kesalahan data melainkan pula asas, dan kendati pula sudah pada 3 abad kemudian, ternyata tak digubris kebanyakan ahli tatanegara maupun para pemimpin negara hingga hari ini.
Mengapa trias politika ala Montesquieu begitu merasuk sampai menutupi kesadaran dari kebanyakan ahli? Banyak penyebabnya. Namun khusus mengenai fungsi yudikatif yang diposisikan di luar dan setara fungsi legislatif, kita dapat melacaknya pada 3 akar sebab berikut ini:
1. Semangat zaman demokratisasi yang sudah terlalu gemas terhadap kekuasaan raja/pemerintah yang sangat besar. Setiap konsep yang menganjurkan pengurangan kekuasaan pemerintah pasti disambut dan didukung sepenuhnya. Kekuasaan raja dikurangi, lalu kekuasaan yang diambil itu berdiri sendiri di luar dan berhadap-hadapan dengan raja/pemerintah, untuk memperbesar kontrol atas penguasa pemerintahan. Bukan saja kekuasaan legislatif, melainkan pula kekuasaan yudikatif.
2. Montesquieu dalam buku Jiwa Undang-Undang (1748) meletakkan 3 cabang kekuasaan itu dalam kerangka tripartite yang terkesan bersifat trikotomis: pembuat undang-undang, pelaksana undang-undang, pengadilan atas pelanggaran undang-undang. Konsep ini sangat kuat menawan pembacanya dalam kerangka “tertutup sempurna” tersebut, seolah sudah inilah kebenaran tertinggi. Padahal kerangka tersebut tidak trikotomis, kekuasaan pengadilan atas pelanggaran UU bukanlah fungsi yang setara-berhadapan dengan kekuasaan pembuat UU. Kekuasaan pengadilan atas pelanggaran UU adalah bagian dari fungsi pengawasan/evaluasi pelaksanaan UU — fungsi yang harus berada di bawah kekuasaan pembuat UU. Satu struktur bersegi tiga yang mengangkat fungsi-fungsi pembuat UU, pelaksana UU dan pengadilan atas pelanggaran UU — legislatif, eksekutif dan yudikatif — sebagaimana yang dipaparkan Montesquieu, yang saya sebut bukan Tri-Politika melainkan “Trias-Legisme”, sebetulnya itu justru memperjelas pada kita betapa tinggi dan tertingginya fungsi Dewan Pemegang Kedaulatan Rakyat sebagai Konstitutor/Konstituante/Pembuat UU. [Matindas, Negara Sebenarnya (2005), Bab VIII.]
3. Berkenaan dengan hakikat dan citra dari fungsi hakim, yakni kecenderungan alamiah masyarakat untuk memandang hakim sebagai pemimpin tertinggi. Jejak-jejaknya masih terbaca dalam sejarah dan pelbagai kebiasaan. Sejarah bangsa-bangsa di Timur Tengah banyak mengisahkan kepemimpinan masyarakat oleh para haqim. Di hampir semua komunitas primitif, pemangku adat adalah pemimpin tertinggi. Posisi kausalitas yang nanti kemudian dibalikkan — pemimpin tertinggi diberi kekuasaan kehakiman — setelah muncul negara-negara yang didirikan para conqueror. Tapi tetap meneruskan tradisi pengutamaan fungsi yudikatif. Jejak warisan tua itu masih terlihat pada negara modern yang tetap memosisikan presiden sebagai pemegang hak untuk memberi grasi. Sebab lainnya yang melayakkan fungsi kehakiman berada di luar dan setara dengan eksekutif maupun legislatif itu jelas lantaran begitu seringnya para politisi di pemerintahan maupun parlemen yang sesukanya memanfaatkan hukum demi kepentingan sendiri. Sehingga kehakiman sering terpandang bukan saja setara melainkan lebih mulia dibanding dua lainnya. Padahal itu hanya diakibatkan tatanegara yang salah sehingga parlemen tak dapat berfungsi optimal mengawasi pemerintah dan para politisi di parlemen pun lepas dari pengawasan serta daya daulat rakyat.
Seharusnya, sesuai asas manajemen negara, penegakan hukum sebagai salahsatu wujud fungsi pengawasan harus berada di bawah pengawasan DPR, karena DPR adalah lembaga pengawasan tertinggi. Logika inilah yang sudah dilihat, meski masih samar, oleh para ahli tatanegara Inggris ketika mereka meletakkan fungsi peradilan tertinggi pada badan parlemen (cq. House of Lords) — meski itu jelas merupakan implementasi yang belum maksimal ketepatannya. Namun yang terpenting ingin dinyatakan di sini ialah bahwa fungsi serta posisi DPR bukan di luar dan di bawah fungsi lembaga penegakan hukum. Kekuasaan pengadilan atas pelanggaran UU bukanlah fungsi yang setara dengan kekuasaan pembuat UU; kekuasaan pengadilan atas pelanggaran UU adalah bagian dari fungsi pengawasan/evaluasi pelaksanaan UU yang tak logis untuk berada di tangan lain dari pembuat UU itu sendiri.
Kekeliruan tatanegara inilah yang membuat cenderung gagalnya setiap upaya penegakan supremasi hukum. Itulah pula penyebab peta permasalahan ihwal kemungkinan buntunya upaya penegakan hukum sekitar kasus Bank Century kendati telah ditangani DPR, dan semua kasus sejenis yang sudah, sedang, dan pasti akan terjadi selama tatanegara Indonesia belum dibereskan.

T
api layakkah parlemen seperti DPR-RI diposisikan pada fungsi pengawasan yang sampai membawahi kekuasaan yudikatif? Sulit bagi para ahli tatanegara untuk bahkan sekadar membayangkan DPR sebagai pemegang kekuasaan pengawasan atas lembaga peradilan, karena DPR bahkan tak mampu menunjukkan diri sendiri sebagai lembaga yang baik atau mampu mengarahkan ke arah keadilan dan kemuliaan. DPR dipenuhi para penyalahguna kekuasaan negara demi kepentingan pribadi dan partai.
DPR yang kendati lembaga kekuasaan pengawas tertinggi dengan kedaulatan tertinggi tapi jelas tak mungkin bisa dipercaya menjadi pengawas sistem peradilan, karena isi serta kinerja DPR yang kualitasnya jauh dari harapan untuk fungsi pengawasan tertinggi negara. Kualitas DPR yang harus rendah akibat keberadaan partai-partai dalam sistem tatanegara.
Jelas memang, satu halangan terbesar, dan berakar, dalam mewujudkan sistem pengawasan yang paling kuat dari lembaga kedaulatan rakyat tertinggi, berpangkal dari kehadiran partai-partai dalam lembaga-lembaga negara yang didasarkan pada konsep warisan tua yang salah kaprah. Konsep yang mengira partai adalah keniscayaan demokrasi dan fungsi parlemen, padahal demokrasi maupun parlemen sudah lama ada sebelum dan tanpa adanya partai-partai. Baik secara historis maupun filosofis, partai bukan elemen eksistensial dari sistem demokrasi. Tak kalah ngawurnya lagi pandangan yang mengira eksistensi partai adalah perwujudan hak asasi di bidang politik, padahal berpartai memang merupakan hak asasi warga untuk berkumpul dan berserikat tetapi partai-partai itu sendiri tak memiliki hak asasi untuk apapun terlebih untuk menghancurkan negara dan bangsa. Partai tidak memiliki hak asasi, hak asasi hanya melekat pada individu warga. Partai, sebagaimana halnya perusahaan, organisasi masyarakat lainnya, bahkan pula negara, hanya memiliki hak-hak yang diberikan berdasar konsensus warga demi kemaslahatan warga dan bangsa. [Matindas, Negara Sebenarnya, Bab III, IV, VI dan VII.]
Memang pengalaman di sejumlah bangsa terlihat bahwa partai, baik secara historis maupun logis, terposisi sebagai pembentuk lembaga negara. Dan sejarah beserta logika inilah yang selanjutnya dan nyaris selamanya merancukan pola pikir banyak bangsa dalam bertatanegara, menjadi hambatan keras bagi penyempurnaan sistem politik negara-negara ke arah yang sebenarnya. Sejarah di sejumlah negeri terjajah menunjukkan betapa perjuangan mencapai kemerdekaan dan mendirikan negara oleh bangsa-bangsa tersebut memang mengandalkan peran partai-partai politik (dengan ideologi nasionalisme, keagamaan, maupun pelbagai ideologi modern yang masuk dari luar dengan atau tanpa melalui organisasi internasionalnya). Sejarah ini lantas dijadikan model permanen, bahwa partai mendasari pembentukan lembaga kekuasaan negara. Pola pikir ini bertambah kukuh lantaran dirancukan dengan logika bahwa politik mendahului administrasi negara; penyelenggaraan tatanegara hanyalah implementasi ideologi politik. Padahal itu hanyalah logika sangat umum (tentang hubungan antara ide dan praktik), dan eksistensi serta fungsi negara pun merupakan ide dasar yang di dalamnya berlangsung upaya-upaya/praktik politik. Negara adalah tahap evolusi yang dicapai kebudayaan suatu masyarakat, menjadi bagian obyektif dari eksistensial masyarakat manusia, yang di dalamnya diatur penyelenggaraan praktik politik (termasuk upaya politik warga melalui wadah partai-partai). Sejarah pun tak boleh dijadikan sumber kebenaran satu-satunya; suatu peristiwa dalam sejarah pastilah keliru jika dipaksakan untuk dijiplak menjadi model satu-satunya dan selamanya. Karena, jangankan dari masa lalu, bahkan sebaliknya model yang sangat logis dan jelas memenuhi syarat kebenaran yang dirancang untuk hari ini dan esok pun harus selalu difalsifikasi demi menjamin kebenarannya sebagai pemenuh kebutuhan manusia. [Keharusan ini sudah diketahui oleh banyak orang melalui pengalaman sehari-hari semenjak awal keberadaan spesies berkesadaran ini; sedang rumusannya sebagai wacana epistemologis, yang sempat terdokumentasi, dirintis sejak Aristoteles, Descartes, William James, Dewey, dan terutama Popper.]
Partai hanya layak untuk pelbagai peran dalam masyarakat, termasuk sebagai team sukses untuk pemenangan para kandidat legislator dan eksekutor pemerintahan, di luar fungsi resmi kelembagaan negara. Sistem kepartaian tidak boleh menjadi subsistem atau bagian dari syarat sistem pembentukan maupun pelaksanaan fungsi lembaga-lembaga negara tersebut. Kehadiran partai secara resmi dalam lembaga kekuasaan negara memerosotkan kualitas setiap lembaga tersebut. Partai-partai memerosotkan kualitas parlemen dalam menjalankan fungsi pengarah dan pengawas negara. Mulai dari rendahnya kualitas anggota parlemen yang terpilih akibat sistem pemilu yang tidak diabdikan pada hakikat pemilu parlemen. Kehadiran partai-partai melogiskan (secara filosofis) dan memaksakan (secara politis) sistem pemilu proporsional, sistem yang hanya diabdikan pada eksistensi serta kepentingan partai. Bukan untuk memilih tokoh yang paling dipercaya rakyat. Setelah duduk di parlemen pun kinerja para anggota sulit berkualitas negarawan, tak boleh berbuat lebih daripada pesuruh partai yang harus berjuang demi kepentingan sepihak partainya sendiri, bukan untuk rakyat dan negara keseluruhan. Penyebabnya tiga sekaligus, dan ketiganya pun ada hanya demi keberadaan serta kepentingan partai: lembaga fraksi, recalling dan kecondongan untuk secepatnya voting. Fungsi fraksi untuk membunuh daya kreatif dan kritis anggota parlemen (— daya-daya utama yang justru adalah fitrah bagi anggota parlemen sejati). Dalam fraksi semua anggota dewan rakyat diresimentasi; keseragaman suara fraksi yang dikomando dari dewan pimpinan pusat partainya mengatasi kecerdasan anggotanya dan memberangus tanggung jawab setiap anggota parlemen pada seluruh rakyat. Sistem fraksi, yang dengannya ada fraksi terbesar, adalah dorongan niscaya untuk parlemen selalu secepatnya mengambil keputusan melalui voting (dan yang sering tertutup pula) sehingga para anggota parlemen bisa menyembunyikan kualitas nalarnya yang minim dan menyembunyikan sikap khianat terhadap konstituennya. Pengawasan yang sungguh-sungguh awas oleh lembaga kedaulatan tertinggi atas lembaga-lembaga kekuasaan lainnya pun menjadi tak mungkin, sebab partai-partai dalam lembaga kedaulatan rakyat (parlemen) memiliki banyak kepentingannya dalam lembaga-lembaga kekuasaan negara tersebut. Pengawasan pasti berkurang dayanya bila misalnya parlemen didominasi partai yang sama dengan partai penguasa pemerintahan/presiden; demikian pula sebaliknya pengawasan akan berkurang kualitas arahannya bila parlemen didominasi partai oposisi pemerintah, arah kebijakan pemerintah yang sudah benar pun akan selalu disalahkan atau tak didukung. [o]

___________

1 Uraian lebih rinci mengenai akar-akar dan pelbagai akibat penerapan Trias Politika, lihat buku: Benni E.Matindas, Negara Sebenarnya, Jakarta: Widyaparamitha, 2005.
2 Montesquieu, Jiwa Undang-Undang, dalam R.M. MacIver, Negara Modern (1926) terj. Moertono, Jakarta: Aksara Baru, 1984; hlm.325.
3 Maurice Hauriou (1856-1929), pakar hukum asal Prancis, penulis buku Asas-Asas Hukum Publik (1916).
4 Woodrow Wilson (1856-1924) adalah Presiden AS ke-28, peraih Hadiah Nobel tahun 1920.